Telah meranggas sekujur badan setelah kau tinggalkan tak tersisa
Ditelantarkannya mimpi dan rencana ke sepanjang jalan yang tak dilalui lagi berdua
Dengan sesal yang masih menghias pusara
Pemakaman jiwa yang pernah kau hidupkan
Sekumpulan kecewa dari hal-hal yang kita janjikan musnah
Terukir dalam batin yang mengais hadir
Terkunci dalam darah yang mengalir getir meletus
Menjadi perayaan dalam kelam yang bersulang
Meluap dalam keranda penuh belati yang menancap tulang
Remuk tak ada lagi yang bisa dicerna dari hari-hari tanpa renjana
Terbit sang fajar pun tak ubahnya kekacauan yang menyilaukan
Gemerlap yang sama sekali tak kuinginkan
Menggelapkan sadar yang tersisa dari segala yang bisa disaksikan mata
Namun apa daya katamu aku bukan lagi cahaya
Aku bukan lagi alasanmu menapaki dunia
Kau pergi dalam sesak penuh tanya sebelum aku bisa menawarkan manis untuk setiap lara yang kau derita
Simpuh tak berhenti aku meminta untuk kembali kau beri rasa
Doa-doa telah meracau menunggu ampunan dosa yang justru membuatmu kian jauh
Tak tersentuh, luruh, menyisakan separuh
Dengan jantung yang kehilangan darah menuju pembuluh
Mengucur sebagai penanda jalan untuk kau kembali
Menjadi irama yang selama ini menghidupi denyut nadi
Telak menusuk dan mengoyak
Menjadi kuasa di kehampaan yang tak terendus bahagia
Dengan batin bersikukuh kelak engkau akan luluh
Maka sebelum akhirnya segala tentangku hanya bisa kau kenang sebatas nama
Ingat lagi singgasana yang pernah kau tempati
Sebagai permaisuri di istana yang kita bangun selama ratusan hari
Datanglah walau merupa duri yang menambah darah
Walau menjelma buih yang mengorek nanah
Kau akan tetap aku sambut dengan perayaan paling meriah
Dengarkanlah pesan lara yang kunyanyikan dalam keheningan
Berharap sampai ke sana
Takkan lelah menanti menunggu datang hari
Kita bersua lagi merayakan patah hati
Takkan lelah menanti menunggu datang hari
Kita bersua lagi merayakan patah hati