"Halo, halo, halo"
"Nomor yang Anda tuju sedang pergi di luar jangkauan
Mohon hubungi lagi ketika sudah kembali"
Semula, aku ingin menanyakan kabarmu
Hanya kabarmu yang saat ini perlu aku ketahui
Tidak lebih
Kabarmu lebih penting dari burung
Aku tak ingin kabar burung, aku ingin kabarmu saja
Apakah kamu sakit atau sehat?
Bila sakit, aku akan jadi dokter bagi sakitmu
Dan bila sehat, aku akan menjadi walafiatmu
Apakah kamu sedang bahagia atau sedang sedih?
Bila sedang bahagia, aku akan menjadi ceriamu
Dan bila sedang sakit, aku akan menjadi perintang dukamu
Pendek kata, aku ingin menjadi air mata bagi tangismu
Atau menjadi gelak bagi tawamu
Aku ingin menjadi bagian yang paling konstitusional dari usiamu
Oh, aku hampir lupa, maaf
Aku tak hendak menghujanimu dengan kata-kata
Seperti yang kamu dengar selama ini
Aku sudah melakukan tobat untuk tidak lagi sembrono mengumbar kata
Yang seperti saranmu, lebih baik ditulis sebagai buku saja
Tapi, mengapa nomor yang kamu berikan 33 hari yang lalu itu
Kini hanya meninggalkan bunyi, "Tut, tut, tut"?
Apakah aku keliru menggetik nomor
Yang kini menjadi satu-satunya alamatmu yang kuketahui?
Tidak mungkin
Aku bahkan lebih hafal nomormu ketimbang namaku sendiri
Nomormu sudah tercatat dan tersimpan rapi di halaman batinku
Nomormu lebih gampang diingat kar′na dikit belakangnya
Bernomor sama dengan tanggal, bulan, dan tahun
Saat kali pertama aku memandang wajahmu
Memang, 33 hari semenjak kali pertama aku mendapatkan nomormu itu
Belum pernah sekali pun terjadi percakapan
Kecuali dialog amat pendek antara diriku dan ketidakhadiranmu
Dan kali ini, jemariku dibimbing niat baik untuk menelpon nomormu
Tapi aku hanya mendengar bunyi serupa kereta api hendak berangkat
"Halo, halo, halo"
"Nomor yang tuj-, nomor yang anda hubungi
Saat ini belum juga pulang dari luar jangkauan
Kami sarankan Anda meniru bongkah batu
Yang sabar menunggu"
Masih tak kamu sahut panggilanku
Kubayangkan jem-
Kubayangkan jemarimu gugup di ambang keraguan
Kubayangkan juga, dering panggilan dariku
Hanya kamu dengarkan sambil membiarkan ponselmu
Terhampar di atas dadamu
Kini, kamu mungkin tertidur
Setelah entah sudah berapa kali mendengar lagu Wegah Kelangan
Yang kamu atur sebagai nada dering khusus ketika nomorku memanggil
Aku tahu berdasarkan etos kerja dalam memahami nalurimu
Ataukah sinyal di tempatmu berada kini sedang mengalami konflik cuaca?
Atau jangan-jangan rute perjalanan panggilanku dihalau
Oleh sekian ratus frekuensi kenanganmu akan mantanmu?
Atau, ah, asu tenan
Aku terkatung-katung di tepi ngarai keputusasaan
Bila tidak teringat kalau putus asa itu dilarang oleh agama
Mungkin aku sudah terjun bebas
Aku cukup beriman bukan?
"Apa kabarmu?"
"Baik"
"Tidakkah kamu rindu aku?"
"Biasa saja"
"Kenapa sudah 33 hari nomormu tidak bisa ditelpon?"
"Sengaja, biar kamu panik"
"Kok begitu?"
"Kepo"
"Aku kangen kamu"
"Aku juga"
"Kamu kok dingin begini sama aku?"
"Iya, berarti kamu harus panas sama aku"
"Jangan cuek begini dong"
"Oke, aku akan bebek saja"
Percakapan tersebut kudirikan demi sesuatu
Yang sampai saat ini kudambakan antara kamu dan aku
Tapi kenyataannya, percakapan tersebut terjadi antara diriku
Dengan diriku yang lain yang kuanggap sebagai dirimu
Tidak apa, yang paling penting
Aku masih punya harapan dapat mendengar suaramu
Hidup tanpa harapan, bagai tungku tanpa api
Bagai cangkir tanpa kopi
Ya, paling utama dalam sebuah kehidupan adalah memiliki harapan
Soal apakah harapan tersebut dapat terwujud
Itu bukan lagi menjadi keniscayaan, bukankah begitu?
Aku selalu menolak ketika mereka hendak memberiku jubah
Kebesaran jomblo
Aku kekasihmu
Aku tahu ada wajah lain yang senantiasa mengincar tempat di hatimu
Tapi aku kekasihmu
Mencintaimu adalah pelaksanaan takdirku
Dan setia padamu adalah sikap yang kuperjuangkan
Aku hanya bisa mengingatmu sebab sudah tak ada lagi
Kegiatan yang dapat kukerjakan
Kekasih, bila kelak ada pertemuan sekali lagi
Dan sepasang matamu sempat bercermin di kedua mataku
Jangan buru-buru mengerjap
Biarkan batinku merekam pandanganmu untuk yang terakhir kali
Aku kekasihmu
Aku mengingatmu sebagai seseuatu yang berhak memilikiku
Lalu, di dalam telpon, hening kembali menyeruak
"Halo, halo, halo"
"Nomor panggilan yang Anda ketik
Sepertinya mengalami tekanan mental
Cobalah periksa kembali
Apakah nomor tersebut mengalami gangguan traumatik"
Yah, rinduku semakin memanjang ketika harapan
Untuk dapat mendengar suaramu, semakin memendek
Seperti lenganku dapat memeluk tubuhmu
Tanpa sekali pun dapat memeluk tubuhku sendiri
Dengan sisa harapan ini aku akan merawat rinduku
Oh, maaf, suara, "Tut, tut, tut"
Kini rupanya kupahami sebagai terjemahan dari cintamu
Yang berdenyut di jantungku, meski di seberang sana
Di seberang ruang yang terbentang antara diriku dan kekhawatiranku sendiri
Semakin terdengar, nyaring, gaung, panjang, perpisahan
Bunyi, "Tut, tut, tut" kini kudengar lebih mirip kalimat
"Kamu terlalu baik untukku"
Aku tahu kalau panggilanku untuk ke-659 kali ini
Hanya akan disambut oleh suara tersebut
Tapi bukankah hidup adalah soal perjuangan?
Dan untuk ada perjuangan ternyata perlu sebuah perjuangan lagi
Apakah bunyi, "Tut, tut, tut" kini
Adalah kata lain dari kalimat, "Tak peduli"?
Apakah bungkammu kini adalah pengertian dari kata, "Pamit"?
Oh, diam-diam, saya perlahan meyakini kalau diammu ternyata
Menjadi suara paling bening yang pernah aku tangkap gemanya
Ah, aku tidak menyerah, aku tidak putus asa
Aku hanya berupaya memahami
Bila melawan hawa hafsu adalah jihad terbesar
Dan keinginan menjadi garda terdepan
Yang memimpin peperangan dengan diriku
Maka melawan keinginan untuk dapat mendengar kabarmu
Adalah perjuangan terakhir yang paling panjang untuk menaklukkannya
Aku hanya ingin membersihkan keinginan-keinginan untuk memiliki fisikmu
Kamu milik Tuhan, sebagaimana diriku
Aku mencintaimu kar'na takdir mengharuskan begitu
Kar′na takdir mengharuskan begitu
Aku masih menunggu kamu mengangkat telponku
Itulah satu-satunya harapan yang kumiliki
Dan itulah alasanku, mengapa aku layak melanjutkan hidup
"Halo, halo, halo"
"Nomor yang Anda tuju sedang sibuk mengingkari panggilan Anda
Anda cukup memerlukan kesabaran
Untuk bisa tersambung dengan nomor ini"
Ternyata, hari ini ulang tahunmu
Aku teringat dan hampir lupa karena sibuk
Mengolah kegetiran ini menjadi senandung dialektika
Hari ulang tahunmu berdigit sama dengan nomor telepon yang kamu berikan itu
Kini aku akan menulis sebuah ucapan ringkas yang lazim
Selamat ulang tahun untuk kamu yang hari ini tepat berusia 20 tahun
Apakah kamu benar-benar berusia 20 tahun?
Sepertinya tidak
Semoga angka 20 hanyalah penanda bagi riwayat bermainmu di bumi ini
Semoga angka 20 adalah hanya usia tubuhmu
Usiamu yang sebenarnya setara dengan usia rembulan
Kamu dan rembulan diciptakan Tuhan secara bersamaan
Sampai-sampai semesta dahulu kala mengira
Kalau kamu dan rembulan adalah bayi kembar siam
Banyak dari Pengembara yang menyandang keyakinan
Kalau kecantikan
Kalau kecantikan rembulan disadur dari kecantikanmu
Bahwa kecantikanmu diciptakan dalam rangka memudahkan para penafsir
Memahami sifat Jamaliyahnya Tuhan
Mengapa kamu diciptakan Tuhan di muka bumi ini? Mengapa?
Bisa jadi, kar'na Tuhan hendak mengajari kepada alam
Bagaimana cara merias keindahan
Mengajari bagaimana senja merawat pesona
Tapi mengapa kamu diciptakan Tuhan?
Boleh jadi, kar'na Tuhan hendak memberikan kepadaku
Jalur resmi kepada manusia
Untuk memahami makna keindahan yang paling sah
Selamat ulang tahun
Kamu, angkatlah teleponmu
Akan aku tuturkan kalimat di atas
Meski tahu kamu cuma akan menganggapnya iseng
Di sini, di bumi, di mana aku berpijak ini
Di atas sisa harapanku ini, aku hendak menanyakan satu hal
Dan itulah pertanyaan terakhirku
Apakah kamu lupa ada setengah dari malammu
Tertinggal di sepasang mataku?
Tidakkah kamu ingin mengambilnya?
Kicau burung rontok ke halaman batinku
Deru bus kota seperti hendak menjelaskan kegaduhan dalam diriku
Ricik air mancur di taman
Seperti suara kangenku yang tak dapat kusampaikan kepadamu
Dan kamu masih tak mengangkat ponselmu
"Halo, halo, halo"
Mendadak telpon putus, padahal belum jadian
Terima kasih